Wednesday, June 17, 2009

MAMA LIHATLAH AKU

Judul di atas aku ambil dari judul buku yang dulu pernah diterbitin Femina (Gaya Favorit Press), kumpulan kisah-kisah anak yang penuh kelucuan dan kepolosan. aku ingat kembali buku itu saat bercakap-cakap di depan meja rias pagi tadi dengan anak keduaku, Rafi.

"Sudah bersih cuci mukanya, Mas?" tanyaku sambil mengelus pipinya.
"Sudah," jawabnya sambil mengacak-acak rambut (dia ingin gaya "rancung", seperti biasa)
"Pakai sabun Mama, nggak?"
"Nggak mau ah, itu kan sabun kecantikan!" protesnya.

Aku punya sabun tradisional dari Bali, yang karena terbuat dari bahan-bahan herbal, kurasa bisa untuk menghilangkan kering kulit di pipinya.

"Oh, Mas nggak pengin cantik, ya? Nggak pengin cakep maksud Mama?" tanyaku lagi, membujuknya. Tapi segera sadar pertanyaanku bisa jadi "misleading" baginya, takut jangan-jangan dia hanya menghargai orang dari kecantikan atau kegantengannya, aku pun menambahkan,

"Eh, iya sih, itu nggak perlu-perlu amat. Yang penting orang itu cantik hatinya, cantik perbuatannya,..."

"Cantik tendangannya...." tiba-tiba Rafi memotong.

Membuatku ternganga. Ternganga pertama, karena betapa aku jadi sadar dia benar-benar sedang tergila-gila pada sepak bola. Ternganga kedua, kukira selama ini dia tak banyak tahu soal kosa kata--tapi ternyata dia tahu ungkapan "tendangan yang cantik", dan dengan tangkas menggunakannya untuk menyahut perkataanku....

So begitulah, kurasa aku harus sering ingat ungkapan dalam judul buku itu "Mama lihatlah aku!"

Lihatlah anakmu, Mama, dengan sebenar-benarnya melihat....

Saturday, November 29, 2008

Zaman Ketika Kebaikan Menjadi Sesuatu yang Aneh


Pagi ini aku mengantar Rahmi ke dokter. Kami naik kendaraan umum menuju klinik langganan kami, Asri Husada di Jl. Bekamin. Turun dari angkot, kami naik becak. Pada kayuhan pertamanya Mang Becak itu langsung bertanya, "Pulangnya ke mana, Neng? Biar Mamang tungguin."

Kujawab, "Wah, jauh Mang, ke Sarimas...."
"Biarin nggak apa-apa, Mang tungguin, ya,"
"Wah, nggak usah, Mang. Sarimas itu dekat Arcamanik. Nanti Mang baliknya ke sini kan kosong, kasihan."
"Nggak apalah. Sok berapa aja dibayar Mang ridho."
"Nggak usah, Mang," kataku sambil turun. Becak sudah sampai di klinik. Aku serahkan uang 5 ribu ongkos becak itu, lalu masuk, mendaftar. Rupanya Mang Becak itu tak mau menyerah. Dia parkir becaknya sebentar dan memburuku ke tempat pendaftaran klinik.

"Mang antar pulangnya ya, Neng. Pasti nggak lama, da."
"Aduh, punten, Mang. Terima kasih, tapi nggak usah. Punten pisan," jawabku, gantian kini aku yang memohon-mohon agar dia meninggalkanku. Dia pun menyerah pergi. Aku sedikit menyesal, mengapa aku tidak menyuruhnya menunggu untuk mengantar kembali kami ke jalan raya tempat kami menyetop angkot pulang nanti.

Seusai periksa dokter, keluar klinik ada taksi lewat, berisi penumpang.

"Mau nunggu taksi itu balik lagi keluar?" tanyaku pada Rahmi. Dia sepakat dan kami pun menunggu. Selain praktis kalau naik taksi kami akan diantar sampai depan rumah, tak perlu jalan kaki saat masuk kompleks perumahan, sebenarnya aku juga ingin menghindar dari Mang Becak yang tadi mengantar kami. Pasti dia kini sudah menunggu penumpang di ujung Jl. Bekamin di depan sana, dan kalau melihat kami, aku khawatir dia akan "merengek-rengek" meminta agar dapat mengantar kami pulang.

Tapi taksi tak kunjung datang, sementara Rahmi yang lemas ingin cepat pulang. Akhirnya kami pun berjalan menuju jalan raya untuk mencari angkot. Benar saja. Di ujung jalan itu, Mang Becak tadi sudah kembali ngetem. Tapi untunglah dia sedang baca koran, jadi aku berharap dia tak melihat kami. Aku pun mengajak Rahmi mempercepat langkah. Tapi...

"Neng..neng...!!!"

Aku pura-pura tidak mendengar dan terus mau menyeberang. Ya ampun! Dia turun dari becaknya dan berlari mengejar kami.

"Ayo Mang bantu menyeberang...."

Oh!?

Dia pun melambai-lambai meminta mobil-mobil di jalan itu melambat, memberi kami jalan menyeberang.

"Terima kasih, Mang...."
"Mangga...."

Dari dalam angkot, aku melihatnya kembali menyeberang menuju becaknya, kali ini membantu menyeberangkan seorang ibu tua.

"Ternyata dia memang suka menolong....Baik ya," kataku pada Rahmi
"Tapi aneh...memaksa."

Ya, entahlah. Mungkin kita yang aneh, karena tak bisa menangkap ketulusan orang yang mau menolong.... Mungkin zaman ini yang aneh. Karena jarang orang baik, orang berniat baik pun jadi tampak aneh....

Hm... aneh....[gerinda]
Catatan: Gambar becak di atas dipinjam dari http://jakartadailyphoto.com

Tuesday, July 31, 2007

TUNNELS: Ketegangan Menggali Dunia Bawah Tanah yang Tersembunyi

“Aku tahu sejak awal bahwa Harry Potter adalah keajaiban. Dan membaca Tunnels memberiku ketegangan yang sama—menemukan dunia imajinasi di balik kehidupan kita sehari-hari. Pintu Harry Potter ke dunia magic adalah Peron 9 ¾, sedangkan dalam Tunnels, pintu itu lebih sederhana—setiap lobang di bawah kaki kita.”

Itulah komentar Barry Cunningham, editor bertangan dingin yang mengeluarkan Harry Potter dari kamar sempitnya di bawah tangga. Kini, setelah lengkap episode terakhir Harry Potter terbit, saat dunia bertanya-tanya seperti apa dunia setelah era Harry Potter, Cunningham memunculkan kejutan barunya: Tunnels, karya Roderick Gordon dan Brian Williams.

Tunnels berkisah tentang Will Burrows, seorang anak lelaki berusia 14 tahun. Putra ahli arkeologi yang menjadi kepala museum di Highfields itu memiliki hobi melakukan ekskavasi bawah tanah, dengan harapan suatu saat menemukan tambang kuno yang terkubur. Alih-alih menemukan tambang, Will harus kehilangan sang ayah yang raib entah ke mana. Dalam upaya mencari ayahnya itulah, Will menemukan dunia bawah tanah yang tak seorang pun pernah membayangkannya.

Imajinasi mengenai apa saja yang mungkin tersembunyi di bawah tanah inilah yang dieksploitasi Gordon dan Williams dalam Tunnels. Apa saja yang selama bertahun-tahun, bahkan mungkin berabad-abad, terkubur di bawah kaki kita? Mungkinkah ada sebuah dunia yang hilang di sana?

Saat ini, bahkan ketika versi aslinya belum terbit, hak terjemahan Tunnels sudah terjual di lebih dari 30 negara. Namun sebagaimana lorong-lorong bawah tanah yang digali Will Burrows, perjalanan Tunnels sampai ke meja Cunningham pun penuh lika-liku.

Karya yang semula ber judul Highfield Mole itu terpaksa diterbitkan sendiri oleh kedua pengarangnya karena tak satu pun penerbit bersedia menerbitkannya. Kedua pengarangnya menanamkan modal berupa waktu, energi dan tentu saja uang ke dalam buku itu, tanpa tahu apakah semua kerja keras itu akan membuahkan hasil. Berharap hasil penjualan bukunya sekadar bisa menutupi biaya produksi yang terpaksa dikeluarkan dari kocek sendiri itu, Roderick Gordon bahkan menemukan cara promosi yang diumpamakannya sebagai “membalikkan metode mengutil di toko buku”: mengendap-endap, menyelipkan buku karyanya itu ke dalam rak-rak display. Sementara di toko-toko yang bersedia menjual bukunya, dia pun secara sembunyi-sembunyi mengatur display agar karya pertamanya itu tampil menonjol di antara buku-buku yang lain.

Bukan hanya itu, kisah awal penulisan Tunnels bahkan jauh lebih berliku ketimbang kisah Gordon mengatur sendiri display di toko buku. Gordon bersama-sama Williams memulai penulisan buku itu pada 2001, setelah diberhentikan dari pekerjaan mereka sebagai staf keuangan di sebuah perusahaan di London yang melakukan program efisiensi.

“Aku sangat marah waktu itu, tapi kini aku melihat pemecatan itu sebagai blessing in disguise—karunia tersamar,” kata Gordon, sambil menambahkan bahwa kalau menengok ke belakang mengenang saat itu, sungguh melakukan investasi besar-besaran untuk menerbitkan satu buku, sama sekali bukan hal yang rasional untuk dilakukan.

“Saat itu aku punya setumpuk hutang, namun ini (menulis buku) adalah sebuah obsesi yang harus kulakukan. Impian yang harus jadi kenyataan.”

Dan impian itu pun memang menjadi nyata. Tak kurang dari 1 juta poundsterling uang muka royalty telah diterimanya dari berbagai penerbit di seluruh penjuru dunia yang berebut hak menerjemahkan bukunya. Qanita (Mizan Group) di Indonesia adalah salah satunya. [G]